Candi Prambanan terletak di lingkungan Taman Wisata Prambanan, kurang
lebih 17 km ke arah timur dari Yogyakarta, tepatnya di Desa Prambanan
Kecamatan Bokoharjo. Lokasinya hanya sekitar 100 m dari jalan raya
Yogya-Solo, sehingga tidak sulit untuk menemukannya. Sebagian dari
kawasan wisata yang yang terletak pada ketinggian 154 m di atas
permukaan laut ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman. sedangkan
sebagian lagi masuk dalam wilayah Klaten.
Candi Prambanan merupakan candi Hindu yang terbesar di Indonesia. Sampai saat ini belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun dan atas perintah siapa, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu. Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Syiwagrha yang ditemukan di sekitar Prambanan dan saat ini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti berangka tahun 778 Saka (856 M) ini ditulis pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.
Pemugaran Candi Prambanan memakan waktu yang sangat panjang, seakan tak pernah selesai. Penemuan kembali reruntuhan bangunan yang terbesar, yaitu Candi Syiwa, dilaporkan oleh C.A. Lons pada tahun 1733. Upaya penggalian dan pencatatan pertama dilaksanakan di bawah pengawasan Groneman. Penggalian diselesaikan pada tahun 1885, meliputi pembersihan semak belukar dan pengelompokan batu-batu reruntuhan candi.
Pada tahun 1902, upaya tersebut dilanjutkan kembali oleh van Erp. Pengelompokan dan identifikasi batu-batu reruntuhan dilaksanakan secara lebih rinci. Pada tahun 1918, pemugaran terhadap Candi Prambanan dilanjutkan kembali di bawah pengawasan Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst) yang dipimpin oleh P.J. Perquin. Melalui upaya ini, sebagian dari reruntuhan Candi Syiwa dapat direkonstruksi kembali.
Pada tahun 1926, dibentuk sebuah panitia pemugaran di bawah pimpinan De Haan untuk melanjutkan upaya yang telah dilaksanakan Perquin. Di bawah pengawasan panitia ini, selain pembangunan kembali Candi Syiwa semakin disempurnakan hasilnya, dimulai juga persiapan pembangunan Candi Apit.
Pada tahun 1931, De Haan meninggal dan digantikan oleh V.R. van Romondt. Pada tahun 1932, pemugaran kedua Candi Apit berhasil dirampungkan. Pemugaran terpaksa dihentikan pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih pemerintahan di Indonesia. Setelah melalui proses panjang dan tersendat-sendat akibat perang dan peralihan pemerintahan, pada tahun 1953 pemugaran Candi Syiwa dan dua Candi Apit dinyatakan selesai. Sampai saat ini, pemugaran Candi Prambanan masih terus dilaksanakan secara bertahap.
Denah
asli Candi Prambanan berbentuk persegi panjang, terdiri atas halaman
luar dan tiga pelataran, yaitu Jaba (pelataran luar), Tengahan
(pelataran tengah) dan Njeron (pelataran dalam). Halaman luar merupakan
areal terbuka yang mengelilingi pelataran luar. Pelataran luar berbentuk
bujur dengan luas 390 m2. Pelataran ini dahulu dikelilingi oleh pagar
batu yang kini sudah tinggal reruntuhan. Pelataran luar saat ini hanya
merupakan pelataran kosong. Belum diketahui apakah semula terdapat
bangunan atau hiasan lain di pelataran ini.
Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah yang berbentuk persegi panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga dikelilingi pagar batu yang saat ini juga sudah runtuh. Pelataran ini terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi. Di teras pertama, yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet berkeliling, terbagi dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di teras kedua terdapat 60 candi, di teras ketiga terdapat 52 candi, dan di teras keempat, atau teras teratas, terdapat 44 candi. Seluruh candi di pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu luas denah dasar 6 m2 dan tinggi 14 m. Hampir semua candi di pelataran tengah tersebut saat ini dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanya reruntuhannya saja.
Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap dan pagar batu. Di keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan tinggi 4 m.
Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah yang berbentuk persegi panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga dikelilingi pagar batu yang saat ini juga sudah runtuh. Pelataran ini terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi. Di teras pertama, yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet berkeliling, terbagi dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di teras kedua terdapat 60 candi, di teras ketiga terdapat 52 candi, dan di teras keempat, atau teras teratas, terdapat 44 candi. Seluruh candi di pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu luas denah dasar 6 m2 dan tinggi 14 m. Hampir semua candi di pelataran tengah tersebut saat ini dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanya reruntuhannya saja.
Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap dan pagar batu. Di keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan tinggi 4 m.
Di
pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang membujur arah utara
selatan. Di barisan barat terdapat 3 buah candi yang menghadap ke timur.
Candi yang letaknya paling utara adalah Candi Wisnu, di tengah adalah
Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Di barisan timur juga
terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini disebut
candi wahana (wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi
nama sesuai dengan binatang yang merupakan tunggangan dewa yang candinya
terletak di hadapannya.
Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong. Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang disebut Candi Apit.
Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong. Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang disebut Candi Apit.
CANDI SYIWA
Pada
saat ditemukan, Candi Syiwa berada dalam kondisi rusak berat.
Pemugarannya memakan waktu yang cukup lama, yaitu dimulai pada tahun
1918 dan baru selesai pada tahun 1953. Dinamakan Candi Syiwa karena di
dalam candi ini terdapat Arca Syiwa. Candi Syiwa dikenal juga dengan
nama Candi Rara Jonggrang, karena dalam salah satu ruangannya terdapat
Arca Durga Mahisasuramardani, yang sering disebut sebagai Arca Rara
Jonggrang. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m.
Candi Syiwa, yang terletak di tengah barisan barat, merupakan candi
terbesar. Denah dasarnya berbentuk bujur sangkar seluas 34 m2 dengan
tinggi 47 m.
Sepanjang dinding kaki candi dihiasi dengan pahatan dua macam hiasan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama adalah gambar seekor singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru. Hiasan ini terdapat di semua sisi kaki Candi Syiwa dan kelima candi besar lainnya.
Pada dinding kaki di sisi utara dan selatan Candi Syiwa, hiasan singa di atas diapit dengan panil yang memuat pahatan sepasang binatang yang sedang berteduh di bawah sebatang pohon kalpataru yang tumbuh dalam jambangan. Berbagai binatang yang digambarkan di sini, di antaranya: kera, merak, kijang, kelinci, kambing, dan anjing. Di atas setiap pohon bertengger dua ekor burung.
Sepanjang dinding kaki candi dihiasi dengan pahatan dua macam hiasan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama adalah gambar seekor singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru. Hiasan ini terdapat di semua sisi kaki Candi Syiwa dan kelima candi besar lainnya.
Pada dinding kaki di sisi utara dan selatan Candi Syiwa, hiasan singa di atas diapit dengan panil yang memuat pahatan sepasang binatang yang sedang berteduh di bawah sebatang pohon kalpataru yang tumbuh dalam jambangan. Berbagai binatang yang digambarkan di sini, di antaranya: kera, merak, kijang, kelinci, kambing, dan anjing. Di atas setiap pohon bertengger dua ekor burung.
Pada
sisi-sisi lain dinding kaki candi, baik kaki Candi Syiwa maupun candi
besar lainnya, panil bergambar binatang ini diganti dengan panil ber
gambar kinara-kinari, sepasang burung berkepala manusia, yang juga
sedang berteduh di bawah pohon kalpataru.
Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Tangga atas ini dilengkapi dengan pipi tangga yang dindingnya dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan binatang. Pangkal pipi tangga dihiasi pahatan kepala naga yang menganga lebar dengan sosok dewa dalam mulutnya. Di kiri dan kanan tangga terdapat candi kecil yang beratap runcing dengan pahatan Arca Syiwa di keempat sisi tubuhnya.
Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur. Tangga atas ini dilengkapi dengan pipi tangga yang dindingnya dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan binatang. Pangkal pipi tangga dihiasi pahatan kepala naga yang menganga lebar dengan sosok dewa dalam mulutnya. Di kiri dan kanan tangga terdapat candi kecil yang beratap runcing dengan pahatan Arca Syiwa di keempat sisi tubuhnya.
Di
puncak tangga terdapat gapura paduraksa menuju lorong di permukaan
batur. Di atas ambang gapura terdapat pahatan Kalamakara yang indah. Di
balik gapura terdapat sepasang candi kecil yang mempunyai relung di
tubuhnya. Relung tersebut berisi Arca Mahakala dan Nandiswara, dewa-dewa
penjaga pintu.
Di
permukaan batur terdapat selasar selebar sekitar 1 m yang mengelilingi
tubuh candi. Selasar ini dilengkapi dengan pagar atau langkan, sehingga
bentuknya mirip sebuah lorong tanpa atap. Lorong berlangkan ini
berbelok-belok menyudut, membagi dinding candi menjadi 6 bagian.
Sepanjang dinding tubuh candi dihiasi deretan pahatan Arca Lokapala.
Lokapala adalah dewa-dewa penjaga arah mata angin, seperti Bayu, Indra,
Baruna, Agni dan Yama.
Sepanjang
sisi dalam dinding langkan terpahat relief Ramayana. Cerita Ramayana
ini dipahatkan searah jarum jam, dimulai dari adegan Wisnu yang diminta
turun ke bumi oleh para raja guna mengatasi kekacuan yang diperbuat oleh
Rahwana dan diakhiri dengan adegan selesainya pembangunan jembatan
melintas samudera menuju Negara Alengka. Sambungan cerita Ramayana
terdapat dinding dalam langkan Candi Brahma.
Di
atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, pada sisi
luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di
atasnya. Dalam relung terdapat 2 motif pahatan yang ditampilkan
berselang-seling, yaitu gambar 3 orang yang berdiri sambil berpegangan
tangan dan 3 orang yang sedang memainkan berbagai jenis alat musik.
Pintu
masuk ke ruangan-ruangan dalam tubuh candi terdapat di teras yang lebih
tinggi lagi. Untuk mencapai teras atas, terdapat tangga di depan
masing-masing pintu ruangan. Dalam tubuh candi terdapat empat ruangan
yang mengelilingi ruangan utama yang terletak di tengah tubuh candi.
Jalan masuk ke ruangan utama adalah melalui ruang yang menghadap ke
timur. Ruangan ini ruangan kosong tanpa arca atau hiasan apapun. Pintu
masuk ke ruang utama letaknya segaris dengan pintu masuk ke ruang timur.
Ruang utama ini disebut Ruang Syiwa karena di tengah ruangan terdapat
Arca Syiwa Mahadewa, yaitu Syiwa dalam posisi berdiri di atas teratai
dengan satu tangan terangkat di depan dada dan tangan lain mendatar di
depan perut. Arca Syiwa tersebut terletak di atas umpak (landasan)
setinggi sekitar 60 cm, berbentuk yoni dengan saluran pembuangan air di
sepanjang tepi permukaannya. Konon Arca Syiwa ini menggambarkan Raja
Balitung dari Mataram Hindu (898 - 910 M) yang dipuja sebagai Syiwa.
Tidak
terdapat pintu penghubung antara Ruang Syiwa dengan ketiga ruang di
sisi lain. Ruang utara, barat, dan selatan memiliki pintu
sendiri-sendiri yang terletak tepat di depan tangga naik ke teras atas.
Dalam ruang utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini, yaitu Durga
sebagai dewi kematian, yang menggambarkan permaisuri Raja Balitung.
Durga digambarkan sebagai dewi bertangan delapan dalam posisi berdiri di
atas Lembu Nandi menghadap ke Candi Wisnu. Satu tangan kanannya dalam
posisi bertelekan pada sebuah gada, sedangkan ketiga tangan lainnya
masing-masing memegang anak panah, pedang dan cakram. Satu tangan
kirinya memegang kepala Asura, raksasa kerdil yang berdiri di atas
kepala mahisa (lembu), sedangkan ketiga tangan lainnya memegang busur,
perisai dan bunga. Arca Durga ini oleh masyarakat sekitar disebut juga
Arca Rara Jonggrang, karena arca ini diyakini sebagai penjelmaan Rara
Jonggrang. Rara Jonggrang adalah putri raja dalam legenda setempat, yang
dikutuk menjadi arca oleh Bandung Bandawasa.
Dalam
ruang barat terdapat Arca Ganesha dalam posisi bersila di atas
padmasana (singgasana bunga teratai) dengan kedua telapak kaki saling
bertemu. Kedua telapak tangan menumpang di lutut dalam posisi tengadah,
sementara belalainya tertumpang dilengan kiri. Arca Ganesha ini
menggambarkan putra mahkota Raja Balitung. selempang di bahu menunjukkan
bahwa ia juga seorang panglima perang.
Dalam ruang selatan
terdapat Arca Agastya atau Syiwa Mahaguru. Arca ini meliliki postur
tubuh agak gemuk dan berjenggot. Syiwa Mahaguru digambarkan dalam posisi
berdiri menghadap ke Candi Brahma di selatan dengan tangan kanan
memegang tasbih sdan tangan kiri memegang sebuah kendi. Di belakangnya,
di sebelah kiri terdapat pengusir lalat dan di sebelah kanan terdapat
trisula. Konon Arca Syiwa Mahaguru ini menggambarkan seorang pendeta
penasihat kerajaan.
Candi
Wisnu terdapat di sebelah utara Candi Syiwa. Tubuh candi berdiri di
atas batur yang membentuk selasar berlangkan. Tangga untuk naik ke
permukaan batur terletak di sisi timur. Di sepanjang dinding tubuh candi
berderet panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.
Sepanjang
dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat relief
Krisnayana. Krisnayana adalah kisah kehidupan Krisna sejak ia dilahirkan
sampai ia berhasil menduduki tahta Kerajaaan Dwaraka.
Di
atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, pada sisi
luar dinding langkan, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di
atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu sebagai
pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.
Candi
Wisnu hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu yang menghadap ke
timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Wisnu dalam posisi berdiri
di atas 'umpak' berbentuk yoni. Wisnu digambarkan sebagai dewa bertangan
4. Tangan kanan belakang memegang Cakra (senjata Wisnu) sedangkan
tangan kiri memegang tiram. Tangan kanan depan memegang gada dan tangan
kiri memegang setangkai bunga teratai.
Candi Brahma letaknya di
sebelah selatan Candi Syiwa. Tubuh candi berdiri di atas batur yang
membentuk selasar berlangkan. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet
panil dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.
Sepanjang
dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat kelanjutan
cerita Ramayana di dinding dalam langkan Candi Syiwa. Penggalan cerita
Ramayana di Candi Brahma ini mengisahkan peperangan Rama dibantu
adiknya, Laksmana, dan bala tentara kera melawan Rahwana sampai pada
Sinta pergi mengembara ke hutan setelah diusir oleh Rama yang meragukan
kesuciannya. Sinta melahirkan putranya di hutan di bawah lindungan
seorang pertapa.
Di
atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, menghadap
ke luar, terdapat relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya.
Dalam relung terdapat pahatan yang menggambarkan Brahma sebagai pendeta
yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.
Candi
Brahma juga hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu yang menghadap
ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Brahma dalam posisi
berdiri di atas umpak berbentuk yoni. Brahma digambarkan sebagai dewa
yang memiliki empat wajah, masing-masing menghadap ke arah yang berbeda,
dan dua pasang tangan. Pada dahi di wajah yang menghadap ke depan
terdapat mata ketiga yang disebut 'urna'. Patung Brahma itu sebetulnya
sangat indah, tetapi sekarang sudah rusak. Dinding ruang Brahma polos
tanpa hiasan. Pada dinding di setiap sisi terdapat batu yang menonjol
yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.
CANDI WAHANA
Candi
Nandi. Candi ini mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat,
yaitu ke Candi Syiwa. Nandi adalah lembu suci tunggangan Dewa Syiwa.
Jika dibandingkan dengan Candi Garuda dan Candi Angsa yang berada di
sebelah kanan dan kirinya, Candi Nandi mempunyai bentuk yang sama, hanya
ukurannya sedikit lebih besar dan lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di
atas batur setinggi sekitar 2 m. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa,
pada dinding kaki terdapat dua motif pahatan yang letaknya
berselang-seling. Yang pertama merupakan gambar singa yang berdiri di
antara dua pohon kalpataru dan yang kedua merupakan gambar sepasang
binatang yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Di atas pohon
bertengger dua ekor burung. Gambar-gambar semacam ini terdapat juga pada
candi wahana lainnya.
Candi
Nandi memiliki satu ruangan dalam tubuhnya. Tangga dan pintu masuk ke
ruangan terletak di sisi barat. Dalam ruangan terdapat Arca Lembu Nandi,
kendaraan Syiwa, dalam posisi berbaring menghadap ke barat. Dalam
ruangan tersebut terdapat juga dua arca, yaitu Arca Surya (dewa
matahari) yang sedang berdiri di atas kereta yang ditarik oleh tujuh
ekor kuda dan Arca Candra (dewa bulan) yang sedang berdiri di atas
kereta yang ditarik oleh sepuluh ekor kuda. Dinding ruangan tidak dihias
dan terdapat sebuah batu yang menonjol pada tiap sisi dinding yang
berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak. Dinding lorong di
sekeliling tubuhcandi juga polos tanpa hiasan pahatan.
Candi
Garuda. Candi ini letaknya di utara Candi Nandi, berhadapan dengan
Candi Wisnu. Garuda merupakan burung tunggangan Wisnu. Bentuk dan hiasan
pada kaki dan tangga Candi Garuda serupa dengan yang terdapat di Candi
Nandi. Walaupun dinamakan candi Garuda, namun tidak terdapat arca garuda
di ruangan dalam tubuh candi. Di lantai ruangan terdapat Arca Syiwa
dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di Candi Syiwa.
Arca ini diketemukan tertanam di bawah candi, dan sesungguhnya tempatnya
bukan di dalam ruangan tersebut.
Candi Angsa. Candi ini letaknya
di selatan Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Brahma. Angsa merupakan
burung tunggangan Brahma. Ukuran, bentuk dan hiasan pada kaki dan
tangga Candi Angsa serupa dengan yang terdapat di Candi Garuda. Ruangan
di dalam tubuh candi dalam keadaan kosong. Dinding ruangan juga tidak
dihias, hanya terdapat batu yang menonjol pada dinding di setiap sisi
ruangan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.
CANDI APIT
Candi
Apit merupakan sepasang candi yang saling berhadapan. Letaknya,
masing-masing, di ujung selatan dan ujung utara lorong di antara kedua
barisan candi besar. Kedua candi ini berdenah bujur sangkar seluas 6 m2
dengan ketinggian 16 m. tubuh candi berdiri di atas batur setinggi
sekitar 2,5 m. Tidak terdapat selasar di permukaan kaki candi.
Masing-masing mempunyai satu tangga menuju satu-satunya ruangan dalam
tubuhnya. Hanya ada hal yang istimewa tentang candi ini, ialah ketika
candi ini sudah selesai di bangun kembali, kelihatan sangat indah.
CANDI PENJAGA
Selain
keenam candi besar dan dua candi apit yang telah diuraikan di atas, di
pelataran atas masih terdapat delapan candi berukuran sangat kecil,
yaitu dengan denah dasar sekitar 1,25 m2. Empat di antaranya terletak di
masing-masing sudut latar, sedangkan empat lainnya ditempatkan di dekat
gerbang masuk ke pelataran atas.
Wajah
Prambanan sekarang telah terlihat cantik. Di depan komplek candi,
dibangun panggung pentas sendratari Ramayana dan Taman Wisata Prambanan
yang dapat mempercantik wajah komplek Prambanan.
Legenda Rara Jonggrang
Dahulu
kala di P. Jawa bagian tengah terdapat dua kerajaan yang saling
bertetangga, yaitu Kerajaan Pengging, yang diperintah oleh Raja
Pengging, dan Kerajaan Prambanan, yang diperintah oleh Prabu Baka. Prabu
Baka berwujud raksasa yang bertubuh besar dan mempunyai kesaktian luar
biasa. Prabu Baka terkenal kejam karena, untuk mempertahankan
kesaktiannya, ia secara rutin melaksanakan upacara persembahan dengan
mengurbankan manusia. Walaupun wujudnya menyeramkan dan hatinya kejam,
Prabu Baka mempunyai seorang putri yang sangat cantik, bernama Rara
Jonggrang.
Raja Pengging sudah lama merasa sedih karena rakyatnya sering mendapat gangguan dari bala tentara Kerajaan Prambanan. Ia ingin sekali menumpas para penguasa Kerajaan Prambanan, namun mereka terlalu kuat baginya. Untuk mencapai keinginannya, Raja Pengging kemudian memerintahkan putranya, Raden Bandung, untuk bertapa dan memohon kekuatan dari para dewa. Raden Bandung berhasil mendapatkan kesaktian berupa jin, bernama Bandawasa, yang selalu patuh pada perintahnya. Sejak itu namanya diubah menjadi Raden Bandung Bandawasa.
Berbekal kesaktiannya itu, Raden Bandung berangkat ke Prambanan bersama bala tentara Pengging. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, Raden Bandung berhasil membunuh Prabu Baka. Dengan seizin ayahandanya, Raden Bandung bermaksud mendirikan pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, ia bertemu dengan Rara Jonggrang. Tak pelak lagi, Raden Bandung jatuh cinta kepada sang putri dan meminangnya.
Rara Jonggrang tidak ingin diperistri oleh pemuda pembunuh ayahnya, namun ia tidak berani menolak secara terang-terangan. Secara halus ia mengajukan syarat bahwa, untuk dapat memperistrinya, Raden Bandung harus sanggup membuatkan 1000 buah candi dalam waktu semalam. Raden Bandung menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. Segera setelah matahari terbenam, ia pergi ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari Prambanan. Ia bersemadi memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, dan memerintahkan jin itu untuk membangun 1000 candi seperti yang diminta oleh Rara Jonggrang.
Bandawasa kemudian mengerahkan teman-temannya, para jin, untuk membantunya membangun candi yang diinginkan majikannya. Lewat tengah, Rara Jonggrang mengendap-endap mendekati lapangan untuk melihat hasil kerja Raden bandung. Betapa kagetnya sang putri melihat bahwa pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. Secepatnya ia berlari ke desa terdekat untuk membangunkan para gadis di desa itu. Beramai-ramai mereka memukul-mukulkan alu (penumbuk padi) ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Mendengar suara orang menumbuk padi, ayam jantan di desa itu terbangun dan mulai berkokok bersahutan.
Pada saat itu Bandawasa telah berhasil membuat 999 candi dan sedang menyelesaikan pembangunan candi yang terakhir. Mendengar suara ayam berkokok, Bandawasa dan kawan-kawannya segera menghentikan pekerjaannya dan menghilang karena mereka mengira fajar telah tiba. Raden Bandung yang melihat Bandawasa dan kawan-awannya berlarian langsung bangkit dari semadinya dan bersiap-siap menyampaikan kegagalannya kepada rara Jonggrang. Setelah beberapa lama menunggu, Raden Bandung merasa heran karena fajar tak kunjung tiba. Ia lalu menyelidiki keanehan yang terjadi itu.
Raden Bandung sangat marah setelah mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Ia lalu mengutuk gadis itu menjadi arca. Sampai saat ini Arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di Candi Rara Jonggrang yang berada di kompleks Candi Prambanan. Raden Bandung juga mengutuk para gadis di Prambanan menjadi perawan tua karena tidak seorangpun yang mau memperistri mereka.
Raja Pengging sudah lama merasa sedih karena rakyatnya sering mendapat gangguan dari bala tentara Kerajaan Prambanan. Ia ingin sekali menumpas para penguasa Kerajaan Prambanan, namun mereka terlalu kuat baginya. Untuk mencapai keinginannya, Raja Pengging kemudian memerintahkan putranya, Raden Bandung, untuk bertapa dan memohon kekuatan dari para dewa. Raden Bandung berhasil mendapatkan kesaktian berupa jin, bernama Bandawasa, yang selalu patuh pada perintahnya. Sejak itu namanya diubah menjadi Raden Bandung Bandawasa.
Berbekal kesaktiannya itu, Raden Bandung berangkat ke Prambanan bersama bala tentara Pengging. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, Raden Bandung berhasil membunuh Prabu Baka. Dengan seizin ayahandanya, Raden Bandung bermaksud mendirikan pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, ia bertemu dengan Rara Jonggrang. Tak pelak lagi, Raden Bandung jatuh cinta kepada sang putri dan meminangnya.
Rara Jonggrang tidak ingin diperistri oleh pemuda pembunuh ayahnya, namun ia tidak berani menolak secara terang-terangan. Secara halus ia mengajukan syarat bahwa, untuk dapat memperistrinya, Raden Bandung harus sanggup membuatkan 1000 buah candi dalam waktu semalam. Raden Bandung menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. Segera setelah matahari terbenam, ia pergi ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari Prambanan. Ia bersemadi memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, dan memerintahkan jin itu untuk membangun 1000 candi seperti yang diminta oleh Rara Jonggrang.
Bandawasa kemudian mengerahkan teman-temannya, para jin, untuk membantunya membangun candi yang diinginkan majikannya. Lewat tengah, Rara Jonggrang mengendap-endap mendekati lapangan untuk melihat hasil kerja Raden bandung. Betapa kagetnya sang putri melihat bahwa pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. Secepatnya ia berlari ke desa terdekat untuk membangunkan para gadis di desa itu. Beramai-ramai mereka memukul-mukulkan alu (penumbuk padi) ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Mendengar suara orang menumbuk padi, ayam jantan di desa itu terbangun dan mulai berkokok bersahutan.
Pada saat itu Bandawasa telah berhasil membuat 999 candi dan sedang menyelesaikan pembangunan candi yang terakhir. Mendengar suara ayam berkokok, Bandawasa dan kawan-kawannya segera menghentikan pekerjaannya dan menghilang karena mereka mengira fajar telah tiba. Raden Bandung yang melihat Bandawasa dan kawan-awannya berlarian langsung bangkit dari semadinya dan bersiap-siap menyampaikan kegagalannya kepada rara Jonggrang. Setelah beberapa lama menunggu, Raden Bandung merasa heran karena fajar tak kunjung tiba. Ia lalu menyelidiki keanehan yang terjadi itu.
Raden Bandung sangat marah setelah mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Ia lalu mengutuk gadis itu menjadi arca. Sampai saat ini Arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di Candi Rara Jonggrang yang berada di kompleks Candi Prambanan. Raden Bandung juga mengutuk para gadis di Prambanan menjadi perawan tua karena tidak seorangpun yang mau memperistri mereka.
0 komentar:
Posting Komentar