Dalam dunia astronomi mutakhir saat ini, Pluto dikenal sebagai
sebuah planet kerdil (dwarf planet) dalam Tata Surya. Sebelum tahun
2006, Pluto masih menyandang status sebagai sebuah planet terkecil dan
terjauh (terletak di urutan kesembilan),
bersama dengan delapan planet anggota Tata Surya
lainnya mengelilingi matahari.
Namun, pada sidang umum Perhimpunan Astronomi
Internasional (International Astronomical Union/IAU) Ke-26 di Praha, Ibu Kota
Republik Czeko, yang berakhir 25 Agustus 2006, para astronom mengumumkan
perubahan definisi planet, termasuk Pluto. Para astronom sepakat Pluto
statusnya bukan merupakan planet lagi, meskipun masih mempunyai sebutan
’’planet kerdil’’ (dwarf planet). Hal ini disebabkan Pluto mempunyai ciri-ciri
yang berbeda dengan kedelapan planet dalam tata surya kita.
Pada 7 September 2006 nama Pluto diganti dengan
nomor saja, yaitu 134340. Nama ini diberikan oleh Minor Planet Centre (MPC),
organisasi resmi yang bertanggung jawab dalam mengumpulkan data tentang
asteroid dan komet dalam tata surya kita. Pada 1978 Pluto diketahui memiliki
satelit yang berukuran tidak terlalu kecil darinya bernama Charon (berdiameter
1.196 km). Kemudian pada tahun 2005 ditemukan lagi satelit lainnya, Nix
dan Hydra Sejarah Penemuan Sejak ditemukan oleh Clyde William Tombaugh, seorang
astronom muda di Observatorium Lowell, pada 18 Februari 1930, Pluto kemudian
menjadi salah satu anggota dari Tata Surya yang paling kontroversial. Mungkin
di Galaksi Bima Sakti ini tidak ada planet yang sekontroversi Pluto.
Penemuan Pluto sebenarnya tak lepas dari
ditemukannya Planet Neptunus oleh Urbain L Verrier dan kawan-kawan. Sejak
Neptunus ditemukan pada 23 September 1846, diketahui bahwa orbit Neptunus
tidak sama tepat dengan yang diperoleh dari perhitungan. Beranjak dari
ketidaksesuaian ini, para astronom menduga adanya planet X sebagai objek yang
bertanggung jawab atas ’’gangguan’’ orbit yang terjadi.
Parchival Lowell adalah astronom pertama yang
mencoba menemukan planet hipotesis ini dari observatoriumnya di Arizona. Upaya
pencarian ini dimulai pada tahun 1905. Sayangnya, Lowell gagal menemukan benda
langit yang diburunya itu. Upaya serupa pada 1919 di Observatorium Mount Wilson
California juga menemukan kegagalan.
Pada tahun 1929 dibangun sebuah teleskop dengan
medan pandang luas di observatorium Lowell. Seorang astronom bernama Clyde W
Tombaugh mencari objek yang belum berhasil ditemukan tersebut. Dengan teleskop
baru itu, Tombaugh berhasil memperoleh foto-foto daerah langit tempat objek
diperkirakan berada. Pada 18 Februari 1930, Tombaugh membandingkan dua foto
daerah langit sama yang telah diperolehnya beberapa minggu sebelumnya.
Dari dua foto tersebut, Tombaugh melihat ada sebuah objek yang terlihat
bergerak relatif terhadap bintang-bintang. Tambaugh makin yakin bahwa ia telah
berhasil menemukan planet yang selama ini dianggap bertanggung jawab dalam
menjelaskan ketidakselarasan orbit Neptunus.
Penemuan planet X itu terjadi 14 tahun setelah
kematian Lowell sebagai pelopor dalam perburuan yang melelahkan tersebut dan
belum diumumkan ke publik sampai tibanya hari kelahiran astronom ini pada 13
Maret 1930. Menariknya, penemuan ini ternyata belum dapat menjelaskan keanehan
dalam orbit Neptunus, yaitu adanya perbedaan antara orbit yang teramati dan
yang diperoleh dari perhitungan. Massa Pluto terlalu kecil untuk dapat dianggap
sebagai objek yang bertanggung jawab atas perbedaan tersebut. Bila demikian,
apakah ini berarti masih ada lagi planet di luar orbit Pluto yang belum
ditemukan? Alih-alih berpikir demikian, hasil studi terkini justru berpendapat
bahwa perbedaan orbit tersebut tidak benar-benar nyata, melainkan hanya
’’dirasa’’ saja keberadaannya.
Pemberian Nama Tentang nama yang diberikan untuk
planet misterius ini, ada kisah yang tidak kalah uniknya. Pluto adalah nama
Dewa yang menguasai dunia kematian dalam mitologi Romawi (dikenal juga sebagai
Hades dalam mitologi Yunani). Meskipun nama ini disarankan oleh banyak orang,
penghargaan diberikan kepada Venetia Burney, seorang gadis kecil berusia 11 tahun
asal Inggris. Nama pilihan ini berhasil menyingkirkan nama-nama lain yang
diusulkan, seperti Minerva (Dewa Ilmu pengetahuan) yang sudah digunakan sebagai
nama asteroid.
Begitu hebohnya berita tentang Pluto di
media kala itu telah menginspirasi pembuat tokoh anjing dalam film serial
animasi (kartun) Walt Disney untuk menggunakan nama serupa. Sejak saat itu
jadilah Pluto sebagai nama anjing peliharaan Mickey Mouse.
Dengan orbitnya yang sangat lonjong, jarak Pluto
ke Matahari bervariasi antara 29,34 AU (jarak terdekat) sampai 49.30 AU (jarak
terjauh). Satuan astronomi (AU) adalah skala jarak dalam Tata Surya yang nilai
satuannya mengambil jarak rata-rata Bumi dari Matahari, yaitu 1 AU sama dengan
149.600.000 kilometer.
Sedemikian lonjongnya, orbit Pluto diketahui
memotong orbit Neptunus sehingga sebagian orbit Pluto berada di sebelah dalam
Neptunus. Dengan orbit yang seperti ini, Pluto pun tidak selalu menjadi planet
terjauh dari matahari. Selama 1979 - 1999, rekor sebagai planet terjauh dari
matahari justru dipegang oleh Neptunus, karena pada saat yang bersamaan Pluto
menghabiskan sebagian waktunya mengitari matahari di sebelah dalam orbit
Neptunus.
Planet-planet dalam (mulai dari Merkurius sampai
Mars) dikenal pula sebagai planet batuan, sehingga disebut Terrestrial Planets.
Sementara itu, di luar orbit asteroid, bersarang planet-planet raksasa
(Saturnus hingga Neptunus) yang sebagian besar komposisinya tersusun atas gas.
Pluto justru berbeda dengan kedelapan saudaranya itu. Pluto yang menghuni
’’tepian’’ Tata Surya, dalam komposisinya justru memiliki banyak kemiripan
dengan benda-benda langit lain yang juga mendiami daerah yang disebut Sabuk
Kuiper tersebut, yakni tersusun atas 70% batuan dan 30% es cair. Atmosfernya
sangat tipis terdiri atas nitrogen, karbon monoksida, dan metana (CH4) yang
hampir selalu berupa gas beku. Suhu permukaan kelewat dingin, yakni
mencapai ñ 220 derajad Celcius.
Sejauh ini astronom tidak menyebut benda-benda
langit yang ditemukan di daerah Sabuk Kuiper, yang juga dikenal sebagai daerah
Trans-Neptunean, sebagai planet. Posisi Pluto yang juga berada di daerah ini
bersama-sama dengan objek trans-Neptunean berukuran besar lainnya telah
membangkitkan kembali sanggahan lama tentang status Pluto sebagai planet.
Selain alasan-alasan di atas, ada alasan-alasan lain yang dapat dikemukakan
untuk mendukung sanggahan tersebut.
Orbit Pluto lonjong bila dibandingkan dengan orbit
delapan planet lainnya. Selain sangat lonjong, orbit Pluto juga memiliki
kemiringan yang sangat besar terhadap bidang ekliptika (bidang orbit Bumi
mwengitari Matahari), yaitu mencapai 17 derajad. Mirip dengan karakteristik
orbit bnyak komet. Ketujuh planet lainnya memiliki kemiripan orbit terhadap
orbit Bumi dalam rentang 0,8 derajad (kemiringan orbit Uranus) sampai yang
terbesar 7 derajad (kemiringan orbit Merkurius).
Keanehan lainnya adalah ukuran satelit alam
(bulan) Pluto, Charon, yang relatif sangat besar bila dibandingkan dengan
ukuran planet induknya yang hanya berdiameter 2.300 km. Sebagai perbandingan,
bulan sebagai satu-satunya satelit alam Bumi, hanya memiliki diameter º
diameter Bumi. Ukuran Cheron yang mencapai sekitar setengah kali ukuran planet
induknya ini membuat astronom memandang Pluto-Charon sebagai planet kembar,
julukan yang juga diberikan pada Bumi dan Venus atau Uranus dan Neptunus.
Bagaimana Pluto dan Charon yang berbeda dalam
komposisi bisa berada bersama dalam satu sistem masih merupakan teka-teki.
Namun, pada Sidang Umum Himpunan Astronomi Internasional (IAU) Ke-26 di Praha,
Republik Czeko, yang menghasilkan keputusan bersejarah dalam dunia astronomi
dengan mengeluarkan Pluto dari daftar planet-planet di Tata Surya kita. Mulai
sekarang, anggota Tata Surya hanya terdiri atas delapan planet, yakni
Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.
Keputusan mengeluarkan Pluto yang sudah menjadi
anggota Keluarga Planet Tata Surya selama puluhan tahun merupakan konsekuensi
ditetapkannya definisi baru tentang planet. Resolusi 5A Sidang Umum IAU Ke-26
berisi definisi baru itu.
Dalam resolusi tersebut dinyata-kan, sebuah benda
langit bisa disebut planet apabila memenuhi tiga syarat, yakni mengorbit
Matahari, berukuran cukup besar sehingga mampu mempertahankan bentuk bulat, dan
memiliki jalur orbit yang jelas dan “bersih” (tidak ada benda langit lain di
orbit tersebut).
Definisi tersebut adalah definisi universal
pertama tentang planet sejak istilah planet dikenal di kalangan astronom,
bahkan sebelum era Nicolaus Copernicus yang tahun 1543 membuktikan Bumi adalah
salah satu planet yang berputar mengelilingi Matahari.
Dengan definisi baru tersebut, Pluto tidak berhak
menyandang nama planet, karena tidak memenuhi syarat ketiga. Orbit Pluto
memotong orbit planet Neptunus, sehingga dalam perjalanannya mengelilingi
Matahari, Pluto kadang berada lebih dekat dengan Matahari dibandingkan
Neptunus.
Planet Kerdil Pluto kemudian masuk dalam keluarga
baru yang disebut planet kerdil atau planet katai (dwarf planets). Keluarga ini
beranggotakan Pluto dan benda-benda langit lain di Tata Surya yang mirip dengan
Pluto, termasuk di dalamnya asteroid terbesar Ceres, satelit Pluto, Charon, dan
beberapa benda langit lain yang baru saja ditemukan.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha di Lembang,
Jawa Barat, Dr Taufiq Hidayat, keputusan Sidang Umum IAU tersebut adalah puncak
perdebatan ilmiah dalam astronomi yang sudah berlangsung sejak awal 1990-an.
Perdebatan tersebut dipicu berbagai penemuan baru yang menimbulkan keraguan
apakah Pluto masih layak disebut planet atau tidak. “Karakteristik Pluto memang
berbeda dengan planet-planet lainnya. Bahkan komposisi kimianya lebih
menyerupai komet daripada planet,” ungkap astronom yang mendalami bidang
ilmu-ilmu planet ini.
Selain itu, perkembangan teknologi teleskop juga
membawa pada penemuan berbagai benda langit yang masuk dalam kelompok Objek
Sabuk Kuiper (Kuiper Belt Object/KBO). Sabuk Kuiper adalah sebutan untuk
wilayah di luar orbit planet Neptunus hingga jarak 50 Satuan Astronomi (SA/1
Satuan Astronomi = jarak rata-rata Matahari-Bumi, yakni sekitar 149,6 juta
kilometer) dari Matahari.
Beberapa KBO sangat menarik perhatian karena
berukuran hampir sama atau bahkan lebih besar daripada Pluto (diameter 2.300
km) dan ada yang memiliki satelit atau “bulan”. Beberapa objek tersebut antara
lain, Quaoar (diameter 1.000 km-1.300 km), Sedna (1.180 km- 1.800 km), dan yang
paling terkenal adalah objek bernama 2003 UB313 yang ditemukan Michael Brown
dari California Institute of Technology (Caltech) pada 2003 lalu.
Objek yang dijuluki Xena tersebut memiliki
diameter 2.400 km, yang berarti lebih besar daripada Pluto. Xena sempat
dihebohkan sebagai planet ke-10 Tata Surya.
Sejak saat itu, lanjut Taufiq, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan astronom. “Pilihannya adalah memasukkan Ceres, Charon, dan
2003 UB313 ke dalam keluarga planet, sehingga jumlah planet menjadi 12, atau
mengeluarkan Pluto. Akhirnya pilihan kedua yang disepakati,” tutur mantan Ketua
Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung ini.
Kontroversi Keputusan melepas status planet dari
Pluto tentu saja sangat mengejutkan semua pihak. “Kata planet dan gagasan
tentang planet bisa menjadi sangat emosional, karena itu adalah hal yang kita
pelajari sejak kita masih kanak-kanak,” ungkap Richard Binzel, profesor
ilmu-ilmu planet dari Massachusetts Institute of Tech-nology (MIT) yang
menentang “pemecatan” Pluto, seperti dikutip Associated Press.
Beberapa pihak memprediksi debat mengenai status
Pluto tidak akan berakhir di sini. Alan Stern, ketua misi pesawat ruang angkasa
NASA, New Horizon, yang diluncurkan ke Pluto, Januari 2006, mengaku merasa
“malu” terhadap keputusan itu. Meski demikian, misi senilai 700 juta dollar AS
dan baru akan tiba di Pluto pada 2015 itu, tetap akan dilanjutkan. “Ini
benar-benar sebuah definisi yang ceroboh. It’s bad science. Ini belum selesai,”
ujar Stern.
Namun, menurut Taufiq Hidayat, pencopotan gelar
planet Pluto itu wajar saja. ’’Ini merupakan konsekuensi logis dari
perkembangan ilmu pengetahuan. Perubahan definisi planet dan keluarnya Pluto
dari keluarga planet hanyalah sebuah pengingat bagi kita semua bahwa ilmu
pengetahuan yang kita pahami dan kita yakini kebenarannya sekarang ini bukanlah
sebuah kesimpulan final. Masih banyak kebenaran yang belum kita temukan,’’ kata
Taufik.
Sampai sekarang belum ada teleskop maupun wahana
antariksa yang mampu menghasilkan foto-foto tajam tentang Pluto.
Karenanya, atmosfer (meski sangat tipis) dan permukaan planet ini pun masih
merupakan teka-teki yang misterius.
Untuk mencari jawaban atas misteri yang
menyelimuti, perjalanan ruang angkasa pun dirancang.
Badan Ruang Angkasa Amerika Serikat (NASA), telah
berencana mengirimkan wahana antariksa ke daerah Sabuk Kuiper untuk menyelidiki
Pluto dan satelitnya, Charon, termasuk juga objek-objek Kuiper lainnya.
Misi ruang angkasa yang diberi nama Pluto Kuiper
Express yang semula akan diluncurkan pada Desember 2004 dan direncanakan tiba
di Pluto paling lambat tahun 2008, namun misi ini akhirnya dibatalkan, karena
masalah dana dan diganti dengan misi baru bernama New Horizons. Misi senilai
700 juta dolar AS yang baru diluncurkan pada 19 Januari 2006 itu, perlu waktu
sekitar 10 tahun untuk tiba di orbit Pluto.
0 komentar:
Posting Komentar